10 Prinsip Emas dalam Pendidikan Akhlak Anak


Mengenai pentingnya tarbiyat atau pendidikan akhlak bagi anak, Nabi kita tercinta Muhammad saw. bersabda bahwa:

“Tidak ada hadiah yang lebih baik yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya selain daripada tarbiyat yang baik,.” (Tirmidzi, Abwaabul Birri Wash Shilah, Bab Maa Jaa’a Fii Adabil Waladi)

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. juga bersabda kepada kita:

“Jadikanlah diri kalian sendiri sholeh dan jadilah teladan yang indah dalam hal kebaikan dan ketakwaan bagi anak keturunan kalian. Berusahalah dan berdoalah untuk menjadikan mereka mutaqi dan sholeh. Seberapa keras usaha kalian dalam mengumpulkan harta untuk mereka, maka sekeras itu pula lah hendaknya usaha kalian dalam hal ini.” (Malfuzat, Jilid IV, Edisi Baru, Hal. 444)

Sabda-sabda ini semestinya sudah cukup bagi kita untuk dapat mencurahkan perhatian kita sepenuhnya terhadap kualitas tarbiyat anak-anak kita sehingga mereka tetap berada di dalam nikmat keimanan. 

Hadirin yang berbahagia!

Tema ini begitu luas, saya akan membatasi garis besar uraian saya pada apa yang disampaikan oleh salah seorang putra Hadhrat Masih Mau’ud a.s., yang dijuluki Qamaarul Anbiyaa, yakni Hadhrat Mirza Bashir Ahmad r.a. dalam satu artikel beliau yang berjudul “10 Prinsip Emas dalam Tarbiyat Anak”.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Islam telah mengakui persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana firmannya:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Laki-laki bertanggung jawab atas hak-hak perempuan, seperti halnya perempuan bertanggung jawab atas hak laki-laki.” (Al-Baqarah: 229)

Namun bila kita tinggalkan pembahasan mengenai hak, dan masuk pada pembahasan mengenai kewajiban, maka sejauh menyangkut kewajiban memberikan tarbiyat sejak dini kepada anak, kaum wanita dikarenakan potensi alamiah yang mereka miliki, mereka mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan kaum pria. 

Memang benar, laki-laki atau ayah juga mempunyai andil dalam hal ini, akan tetapi dibandingkan ibu, peranan ayah jauh sekali kurangnya. Ketika masih bayi, dari ibunyalah anak menghirup kelezatan air susu ibu. Di pangkuan ibunya lah ia merasakan ketentraman. Siang malam ia senantiasa berada di samping ibu. Kepada ibu ia merengek meminta sesuatu. Dari lisan ibu ia mendengar kata-kata mesra. Sesekali ibu memarahinya, namun tak urung ia tetap kembali kepada ibu. Sebagian besar waktunya ia habiskan bersama ibu. Singkatnya, perhubungan antara ayah dan anak yang kesempatannya jarang lagi pula kaku itu, jika dibandingkan dengan perhubungan antara ibu dan anak selama dua puluh empat jam yang mesra lagi erat itu, boleh dikatakan seolah-olah tidak berarti. 

Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:

“Sorga terletak di bawah kaki ibu”.

Maksud dari sabda Nabi saw. ini adalah, jika sang ibu adalah seorang yang mukhlis, maka perhubungannya yang erat dengan anak yang berlangsung siang dan malam itu akan menuntun anaknya ke surga. Dan dengan jalan berkhidmat pada ibu terbuka baginya jalan menuju surga.

Mengingat pentingnya peran ibu dalam hal tarbiyat anak ini, maka Rasulullah saw. bersabda kepada para laki-laki Muslim bahwa:

“Ada empat sebab orang memilih teman hidupnya. 

  1. Sebagian orang memilih karena harta bendanya. 

  2. Sebagian lagi karena keturunannya. 

  3. Sebagian lagi karena tertarik oleh kecantikannya. 

  4. Sebagian lagi memandang penting akhlak dan agamanya. 

Hendaknya engkau selalu mengutamakan akhlak dan agamanya. Kalau tidak, tanganmu kelak akan dikotori oleh lumpur.” (Bukhari, Muslim, dan Misykaat, Hal. 267).

Hadhrat Mirza Bashir Ahmad r.a. bersabda mengenai hadits ini:

“Saya telah memperhatikan keadaan ribuan rumah tangga dan dengan diam-diam mengamati peri kehidupan mereka, maka di mana ratu rumah tangganya seorang wanita yang baik, di sana rata-rata 80% dari keluarga semacam ini terdiri atas anak-anak yang baik. Keadaan itu ada pengecualiannya, jika anak-anak itu setelah besar berubah menjadi tidak baik, disebabkan oleh pengaruh buruk pergaulan mereka. Begitulah kehendak kodrat alam yang tak berubah-ubah dan mengenainya junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw. bersabda: 

“Hendaknya engkau selalu mengutamakan akhlak dan agama (wanita yang akan engkau nikahi itu). Kalau tidak, tanganmu akan dikotori oleh lumpur.” (Dasar-dasar Pendidikan Bagi Jema’at, Hal. 13)

Dengan meninjau hal ini lah beliau menempatkan di urutan pertama dalam 10 Prinsip Emas dalam Tarbiyat Anak:

  1. Laki-laki Muslim hendaknya menikah dengan wanita yang salehah dan berakhlak baik.

Dalam menjelaskan hadits ini selanjutnya beliau juga bersabda:

“Mempunyai anggapan bahwa dalam hadits ini hanya terdapat perintah bagi kaum laki-laki untuk menikah dengan wanita yang salehah dan tidak terdapat perintah untuk kaum wanita adalah suatu pemikiran yang salah. Karena ketika kepada laki-laki diperintahkan untuk mencari wanita yang salehah maka tentunya dalam perintah ini terdapat juga perintah yang tersirat bahwa hendaknya  wanita-wanita muslim pun menjadi baik dan salehah, karena jika di dunia ini tidak ada wanita yang saleh, maka bagaimana akan tersedia istri-istri yang salehah bagi para laki-laki?.” (10 Prinsip Emas Dalam tarbiyat Anak, Hal.8)

Alhasil di urutan kedua beliau menempatkan poin berikut bahwa:

  1. Hendaknya setiap wanita juga menjadi salehah dan mempelajari ilmu agama, dan kemudian menjadikan amalan-amalannya sesuai dengan perintah-perintah agama, sehingga dengan terus membicarakan hal-hal mengenai agama di rumahnya, mengajarkan ajaran agama dan memberikan contoh amalan yang sesuai dengan agama, ia bisa mengarahkan kehidupan anak-anaknya dari sejak masih kanak-kanak pada jalan ketakwaan dan kebaikan. 

Selanjutnya prinsip ketiga yang beliau jelaskan adalah:

  1. Tarbiyat anak-anak harus dimulai sedini mungkin yakni sesaat setelah kelahiran mereka. 


Beliau r.a. bersabda: 

“Janganlah hendaknya mempunyai anggapan bahwa tarbiyat bisa ditangguhkan hingga anak sudah menjadi besar karena toh masih dalam keadaan bayi. Secara lahiriah memang bayi tidak mengerti suatu apa pun. Pada taraf permulaan reaksi indera pendengaran dan penglihatan si anak belumlah sempurna. Walaupun demikian, sesaat sesudah bayi lahir ia mulai menerima pengaruh sekelilingnya. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ilmu jiwa dan tidak begitu mudah dipahami oleh orang awam. Akan tetapi para pakar ilmu jiwa mengetahui serta mengenal benar hakikat ini.” (Dasar-dasar Pendidikan Bagi Jema’at, Hal.17)

Mengenai hal ini diisyaratkan pula oleh syariat dalam perintah Nabi Muhammad saw. bahwa ketika seorang bayi lahir di tengah sebuah keluarga, maka bacakanlah azan di telinga sebelah kanan dan iqamat di telinga sebelah kiri. Kalimat azan dan iqomah sejatinya adalah berisi esensi-esensi ajaran Islam.

Hadhrat Mirza Bashir Ahmad r.a. juga bersabda:

“Berdasarkan ajaran Islam, masa tarbiyat anak dimulai segera setelah kelahirannya dan sangatlah malang orang tua yang melewati beberapa tahun pertama usia anaknya dalam kekeliruan bahwa sekarang ia belum layak diberikan tarbiyat. Di hadapan mata sang anak nampak pemandangan-pemandangan yang beracun dan tidak senonoh, dan dengan lugunya beranggapan bahwa anak saat ini tidak mengerti akan hal-hal itu. Hal-hal yang bertentangan dengan akhlak dan syariat sampai ke telinga anak-anak dan dengan polos beranggapan bawah anak masih belum memahami hal-hal tersebut dan tidak mengetahui. Dan di masa itu satu benih tanaman beracun terus tumbuh di hati dan pikiran anak. Memang terkadang anak tidak mengenali racun dari benih tersebut, namun racun tetaplah racun, dan di dalam ia terus bekerja.”

“Alhasil, pelajaran lainnya dari tarbiyat anak adalah, mulailah memikirkan tarbiyat mereka segera sejak kelahiran mereka, dan baik itu mereka mengerti atau tidak mengerti perkataanmu, namun pahamilah bahwa ia menyaksikan semua perilakumu dan mendengar semua perkataanmu.” (10 Prinsip Emas dalam Tarbiyat Anak, hal. 12)

Sejalan dengan ini Hadhrat Khalifatul Masih Al-Khamis atba. bersabda:

“Bersabda, lakukanlah tarbiyat itu ketika masih masa kanak-kanak. Sebenarnya, jika terlambat, maka akan sangat perlu kerja keras untuk melakukannya. Ada suatu peribahasa, tempalah besi yang masih panas. Akan tetapi ini adalah “besi masa kanak-kanak” yang Allah Ta’ala  simpan hingga suatu jangka waktu yang lama dalam keadaan lunak, dan dalam keadaan lunak ini bentuk yang ingin anda lukiskan di atasnya akan abadi. Oleh karena itu, inilah waktunya untuk tarbiyat. Dan dalam bahasan tarbiyat ini, hal berikut haruslah diingat, bahwa sebanyak apapun tarbiyat secara lisan yang disampaikan oleh orang tua, namun jika amalan mereka tidak sesuai dengan perkataan mereka, maka anak-anak akan meniru sisi kelemahan-kelemahan orang tuanya itu, dan membiarkan sisi-sisi yang kuat/positif.” (Masy’al-e-raah, Jilid V, Bagian I, Hal. 23-24)

Dalam menjelaskan prinsip ke 4, 5 dan 6 Hadhrat Mirza Bashir Ahmad r.a. mengutip firman Allah Ta’ala berikut:

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَ يُـقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَ مِمَّا رَزَقْنٰھُمْ يُنْفِقُوْنَ

Yakni, “Al-Quran ini adalah sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib dan tetap mendirikan shalat dan dari apa-apa yang telah kami rezekikan kepada mereka, mereka membelanjakannya (di jalan-Ku).” (Al-Baqarah: 2-3)

Dalam ayat ini disebutkan mengenai satu pondasi keimanan yakni beriman kepada yang gaib, dan 2 pondasi amalan, yakni menegakkan shalat dan membelanjakan apa-apa telah yang direzekikan Allah Ta’ala di jalan-Nya.

Dengan mengacu pada ayat ini beliau menempatkan pada posisi keempat prinsip berikut yaitu:

  1. Menjadi kewajiban ibu untuk sejak di usia belia menanamkan di hati anak-anak mereka keimanan kepada yang gaib, yaitu percaya kepada hal-hal yang menjadi dasar keimanan seorang mukmin, yaitu percaya kepada Allah Ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kehidupan sesudah mati dan hukum qadha dan qadar. 

Hadhrat Mirza Bashir Ahmad r.a. bersabda:

“Harus ditanamkan ke dalam hati setiap anak Ahmadi bahwa, “Aku mempunyai Tuhan yang satu yang telah menciptakanku dan yang merupakan Hakim dan Pemilik-ku dan aku harus menegakkan hubungan pribadi dengan-Nya.” 

“Ke dalam hati setiap anak Ahmadi harus ditanamkan bahwa untuk menjalankan tatanan dunia ini Allah Ta’ala telah menciptakan malaikat yang meskipun pada zahirnya tidak nampak, mereka menarik hati manusia pada kebaikan-kebaikan dan mencegah dari keburukan. 

“Ke dalam hati setiap anak Ahmadi harus ditanamkan bahwa Allah Ta’ala dari waktu ke waktu telah menurunkan berbagai kitab untuk petunjuk umat manusia dan dari antara semuanya itu kitab yang terakhir dan syari’at yang terakhir adalah Al-Qur’an yang tanpa mengamalkannya manusia tidak bisa meraih keselamatan.”

“Ke dalam hati setiap anak Ahmadi harus ditanamkan bahwa untuk menyampaikan petunjuk kepada manusia dan untuk menjadi teladan suci bagi mereka Allah Ta’ala senantiasa mengutus Rasul-Nya pada setiap zaman dan dari antara semuanya pembawa syariat yang terakhir adalah Rasulullah saw. yang merupakan pemimpin dari semua Nabi dan Khataman Nabiyyiin serta Rasul yang paling mulia, yang mana untuk mengkhidmati dan memperbaharui agama beliau saw. Allah Ta’ala telah mengutus pendiri Jema’at Ahmadiyah, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada zaman ini.”

“Ke dalam hati setiap anak Ahmadi harus ditanamkan bahwa setelah kematian ada satu kehidupan lain yang di dalamnya untuk mempersiapkan hukuman dan ganjaran, manusia akan mempertanggung jawabkan amalan-amalannya.”

“Dan yang terakhir ke dalam hati setiap anak Ahmadi harus ditanamkan bahwa di samping peraturan-peraturan rohani, tatanan kebendaan di dalam jagat raya ini pun tunduk pada hukum Qadha dan Qadar, apakah ia berhubungan dengan kebaikan ataukan keburukan.”

“Hal-hal ini harus ditanamkan ke dalam hati setiap anak Ahmadi sejak masih kanak-kanak sedemikian rupa sehingga di kehidupan mendatang tidak akan ada taufan yang bisa menggoyahkannya dari akidah ini.”

Selanjutnya prinsip kelima yang beliau sampaikan adalah:

  1. Mendisiplinkan anak dalam shalat sejak masih kanak-kanak. 

Beliau r.a. bersabda: “Shalat adalah kabel yang menghubungkan Khaliq dengan Makhluk yang dengannya lentera hati senantiasa terang dan manusia seolah-olah diikatkan dengan Allah Ta’ala dengan tali kerohanian yang tersembunyi.”

Sayyidiinaa Hadhrat Khalifatul Masih Al-Khamis a.t.b.a. juga bersabda berkenaan dengan shalat: 

“Menjadi tanggung jawab ayah dan ibu untuk menanamkan kebiasaan melaksanakan shalat. Janganlah membiasakannya hanya untuk sekedar memenuhi kewajiban saja, namun tanamkan dengan kuat di dalam hati mereka kecintaan kepada Allah Ta’ala, sehingga mereka menjadi orang-orang yang rajin shalat yang memahami bahwa, “Ini adalah untuk faedah dan manfaat bagi diri kami sendiri, dan hubungan kami dengan Allah Ta’ala lah yang meneguhkan kehidupan dunia dan akhirat kami.” Dan ini tidak bisa terwujud selama anda sendiri sebagai orang tua tidak menjalin hubungan yang murni dengan Allah Ta’ala.” (Masy’al-e-Raah, Jilid V, Bagian IV, Hal. 14)

Huzur atba. juga bersabda bahwa shalat merupakan syarat utama jika ingin meraih manfaat dari nikmat Khilafat. Beliau bersabda:

“Menegakkan shalat adalah syarat yang pertama untuk mengambil faedah dari nikmat Khilafat. Tujuan saya mengapa begitu menekankan setiap ahmadi baik itu laki-laki dewasa, anak-anak dan wanita untuk memberikan perhatian terhadap shalat adalah, supaya anda bisa mengambil faedah dari nikmat yang telah anda dapat ini sebanyak mungkin. Allah Ta’ala telah menjanjikan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan hal ini juga sesuai dengan nubuatan dari Hadhrat Rasulullah s.a.w. bahwa silsilah khilafat ini akan terus berlangsung. Akan tetapi yang akan meraih faedah darinya adalah orang-orang yang dikarenakan ibadah-ibadahnya memiliki hubungan yang hidup dengan Allah Ta’ala.” (Masy’al-e-Raah, Jilid V, Hal. 145-146) 

  1. Prinsip yang keenam adalah, tanamkan ke dalam hati anak-anak kita kebiasaan melakukan infaq fii sabiilillah dan membelanjakan untuk agama. 

Beliau r.a. bersabda:

Tumbuhkanlah kesadaran dalam diri mereka bahwa segala sesuatu yang ia dapatkan dari Allah Ta’ala, baik itu berupa harta, potensi kecerdasan, ilmu, waktu, dari semua itu keluarkanlah bagian Allah Ta’ala dan Jema’at. Jadikanlah mereka sejak kecil terbiasa untuk memberikan candah dengan tangan mereka sendiri, membantu orang-orang miskin, dan menyisihkan waktu mereka untuk pekerjaan-pekerjaan Jema’at.” (10 Prinsip Emas dalam Tarbiyat Anak, hal. 27).

Hadirin yang berbahagia, selanjutnya terdapat hadits dari Rasulullah saw. menjelaskan mengenai tiga dosa besar. Rasulullah saw. bersabda:

“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa yang amat besar? Beliau saw. mengulangi kata-kata itu hingga tiga kali. Para sahabat menjawab, “Tentu saja ya Rasulullah!”.

Beliau saw. bersabda, 

“Dosa yang pertama adalah menyekutukan Allah. Kemudian durhaka kepada orang tua.” Pada saat itu beliau sedang bersandar pada sebuah bantal, kemudian beliau duduk dan bersabda: “Jauhilah dusta! Jauhilah dusta! Jauhilah dusta!”. Beliau terus mengulang-ulang kata ini sehingga para sahabat melihat bayangan kesedihan di wajah beliau. Mereka berkata satu sama lain, “Ah, berkenanlah kiranya beliau diam dan jangan terus menyusahkan diri.” (Bukhari dan Muslim)

Atas dasar hadits ini Hadhrat Mirza Bashir Ahmad menetapkan 3 prinsip dasar yang berikutnya, yaitu:

  1. Hendaknya selalu mengingatkan anak-anak kita agar tidak terjerumus ke dalam jurang syirik khafi (tersembunyi). 

Hadhrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menjelaskan bahwa:

“Yang dimaksud syirik Khafi adalah menghormati sesuatu yang seharusnya itu hanya dilakukan untuk Allah Ta’ala, atau mencintai sesuatu sedemikian rupa yang seharusnya itu hanya ditujukan kepada Allah Ta’ala, atau sedemikian rupa bertumpu pada sesuatu yang seharusnya itu hanya pada Allah Ta’ala.” (10 Prinsip Emas dalam Tarbiyat Anak, Hal. 20)

Beliau bersabda:

“Di samping melakukan upaya-upaya zahir duniawi, hati mereka harus senantiasa dipenuhi keimanan yang hidup bahwa di balik semua upaya-upaya lahiriah ini ada tangan Tuhan yang bekerja dan,

Wohi hota he’ jo manzur-e-khuda hota he.
Yakni, yang akan terjadi adalah apa yang diridhoi oleh Allah Ta’ala.

Beliau r.a. bersabda:

“Saya yang lemah ini menyaksikan ibu-ibu yang sedemikian rupa salehah (seandainya saja semua ibu seperti ini), bahwa di satu sisi ia memberikan obat kepada anaknya yang sakit dan di sisi lain ia terus menjelaskan bahwa, “Nak! Minumah obat ini. Karena ini adalah perintah Allah Ta’ala, maka minumlah. Namun sejatinya yang memberikan kesembuhan hanyalah Allah. Oleh karena itu minumlah obat juga dan panjatkanlah juga doa kepada Allah Ta’ala semoga Dia memberikanmu kesembuhan”.

“Ketika anaknya akan menghadapi ujian, mereka dengan penuh cinta memberikan nasihat, “Janganlah sia-siakan waktu dan bacalah buku-buku”. Namun di samping itu ia juga mengatakan, “Lihatlah! Hanya dengan karunia Allah Ta’ala lah kamu akan lulus, namun sarana-sarana ini pun adalah ciptaan Tuhan, oleh karena itu belajarlah juga dan mohonlah juga karunia Allah Ta’ala.” (Hal. 21)

  1. Selanjutnya prinsip yang kedelapan adalah, ajarkanlah anak-anak untuk menghormati kedua orang tua dan sesepuh lainnya, baik itu kerabat, bukan kerabat, tetangga maupun bukan tetangga. 

Beliau r.a. bersabda:

“Adalah merupakan kewajiban ibu yang baik untuk tidak hanya mengajarkan kepada anak mereka sejak kecil untuk menghormati kedua orang tua, melainkan juga kepada segenap sesepuh lainnya.” 

“Kakek, nenek, paman, bibi, kakak, orang tua tetangga, sesepuh di masyarakat, pejabat negara, menjaga tata krama terhadap mereka semua dan bersikap hormat terhadap mereka adalah ruh dari ajaran Islam dan menjadi kewajiban para ibu Ahmadi untuk berusaha menanamkan akhlak ini pada diri anak-anak mereka.”

“Dan faktanya tata krama adalah sarana perbaikan diri yang penting, karena anak yang menghormati yang tua akan mendengar nasihat-nasihat mereka dan mengambil faedah darinya.” (Hal. 22)

  1. Menjadi kewajiban setiap ibu Ahmadi untuk menumbuhkan kebiasaan berkata jujur dalam diri anak. 

Beliau r.a. bersabda:

“Sebenarnya dusta pada dasarnya adalah dosa yang sangat rendah, bahkan ini adalah satu alat yang kotor untuk menciptakan dosa-dosa lainnya dan menutupinya. Orang yang biasa berdusta, mereka dengan segera menutupi dosa-dosanya dengan berkata dusta dan dengan demikian ia menjadi lebih berani untuk melakukan dosa di masa yang akan datang dan terjadi satu pusaran kotor dosa yang apabila seseorang terjerumus ke dalamnya tidak akan bisa keluar.”

“Terdapat di dalam hadits bahwa ketika suatu kali seseorang bertanya kepada Rasulullah saw. bahwa, “Ya Rasulullah! Saya ini lemah dan tidak mampu untuk meninggalkan semua dosa secara sekaligus. Beritahu saya satu dosa yang harus segera saya tinggalkan.” Beliau saw. bersabda, “Tinggalkanlah dusta.”Kemudian setelah itu orang tersebut tidak bisa menutupi dosa-dosanya, dan berkat petunjuk ini orang tersebut seolah-olah dengan hanya satu langkah telah berhasil meninggalkan semua dosa.”

  1. Menjadi kewajiban kedua orang tua untuk senantiasa berdoa di hadapan Allah Ta’ala untuk tarbiyat anak-anaknya supaya Dia meneguhkan mereka di atas jalan kebenaran dan menganugerahkan kemajuan agama dan dunia dan menjadi pelindung serta penolong mereka. 

Rasulullah saw. bersabda:

“Ada tiga doa yang dengan karunia Allah Ta’ala pasti dikabulkan. Yang pertama doa orang-orang yang teraniaya yang karena telah lelah dengan penganiayaan yang dihadapi dia berdoa kepada Allah Ta’ala. Yang kedua adalah doa orang musafir yang dia panjatkan di tengah kesulitan dalam perjalanan. Dan yang ketiga adalah doa kedua orang tua yang mereka panjatkan dengan penuh rintihan untuk kebaikan anak-anak mereka.” (Tirmidzi)

Hadhrat Mirza Bashir Ahmad r.a. bersabda bahwa:

“Faktanya, doa kedua orang tua untuk anak adalah seperti eliksir/zat kehidupan, karena suatu gejolak perasaan dan kondisi pikiran yang diperlukan untuk pengabulan doa, semua itu didapatkan dalam derajat yang sempurna dalam doa kedua orang tua.”

Jadi! Sebagai para orang tua ahmadi, kita mengemban tanggung jawab yang sangat besar untuk merawat dan membina generasi muda Jema’at. Tidak lama lagi akan tiba masanya anak-anak kita yang akan meneruskan tongkat estafet kemajuan Jema’at ini. Ini adalah tanggung jawab yang sangat berat, namun yakinlah bahwa karunia dan rahmat Allah Ta’ala senantiasa menaungi setiap langkah kita dan doa-doa Hadhrat Rasulullah saw., Hadhrat Masih Mau’ud a.s. serta para Khalifahnya selalu menyertai kita. 

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk dapat memberikan tarbiyat yang terbaik kepada anak keturunan kita dan menjaga mereka tetap dalam nikmat keimanan ini, yakni bahtera Jema’at Ahmadiyah yang telah Allah Ta’ala anugerahkan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Aamiin.














 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyejuk Mataku adalah Salat

Tujuh Makna Waqaf dan Tanggung Jawab Para Orang Tua Waqf-e-Nou

Bagaimana Menjalin Hubungan Yang Erat Dengan Allah Ta'ala?