Tujuh Makna Waqaf dan Tanggung Jawab Para Orang Tua Waqf-e-Nou

 


(Oleh: Mln. Farid Ahmad Nawid Sahib, Principal Jamiah Ahmadiyah Ghana. Penerjemah: Muhammad Hasyim) 

Waqaf adalah sesuatu yang dengan setia dipegang teguh oleh seseorang hingga akhir hayatnya dan terlepas dari segala macam rintangan, ia terus maju di jalan tersebut. 

Terdapat kisah mengenai Zahiruddin Babur, pendiri Kerajaan Mughal bahwa pada saat anaknya, Humayun sakit parah, ia berdoa untuk kesehatannya. Timbul sebuah pemikiran di benaknya bahwa ia harus mengorbankan sesuatu yang ia sayangi di jalan Allah untuk menyelamatkan anaknya, Humayun. Dia berpikir bahwa, “Berlian ini dan itu sangat aku sayangi, aku akan mempersembahkannya di jalan Allah. Harta ini dan itu akan aku persembahkan di jalan Allah.” Namun setiap kali, hatinya berkata bahwa, “Apa kedudukan berlian dan hartaku itu dibandingkan putraku. Untuk putraku, aku bahkan bisa memberikan seluruh kerajaan.” Tapi kemudian ia berpikir bahwa dengan mengorbankan kerajaannya pun, berarti ia tengah menyelamatkan nyawanya sendiri. Artinya, nyawa adalah sesuatu yang paling berharga. Oleh karena itu ia berdoa, “Ya Allah! Aku sangat mencintai hidupku, tapi aku berjanji akan mempersembahkannya jika Engkau menyembuhkan putraku.” Tercatat dalam sejarah, beberapa hari setelah doa ini dipanjatkan, kesehatan Humayun mulai membaik, sedangkan kesehatan Raja Babur mulai menurun.

Jika kita renungkan, para orang tua anak Waqf-e-Nou selangkah lebih maju dalam standar rasa cinta mereka pada anak. Raja Babur berjanji menyerahkan nyawanya demi cinta pada putranya, namun orang tua dari para anak waqaf adalah orang-orang beruntung yang lebih mengutamakan kecintaan Allah Ta’ala daripada segalanya dan mewaqafkan putra dan putri tercinta mereka demi kecintaan kepada-Nya. Mereka telah menyerahkan hidup putra-putri mereka di tangan Allah Ta’ala dan berjanji untuk menghidupkan kembali teladan-teladan yang bahkan tidak terpikirkan oleh seorang raja duniawi. 

Para orang tua ini telah berkomitmen untuk mengikuti jejak para bintang besar di dunia kerohanian yang teladannya disajikan dalam Al-Qur’an, yaitu para nabi dan orang-orang saleh yang mencintai Allah Ta’ala lebih dari siapapun yang dicintainya dan mereka siap mempersembahkan segala pengorbanan demi kecintaan kepada-Nya. Para orang tua ini telah mengikat perjanjian dengan Tuhan mereka seperti janji sang wanita saleh dari keluarga Imran, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an: Ketika seorang wanita Imran berkata, “Wahai Tuhan-Ku! Sesungguhnya aku telah menazarkan kepada-Mu apa yang ada di dalam kandunganku untuk berkhidmat. Kemudian ketika ia melahirkannya, ia berkata, “Ya Tuhanku! Aku telah melahirkan seorang bayi perempuan.” Namun ia tetap tidak berputus asa, bahkan menepati janjinya dan berkata, “Ya Tuhan-Ku, sesungguhnya aku telah menamainya Maryam, dan aku memohonkan ia dan anak keturunannya di bawah perlindungan-Mu dari setan yang terkutuk.” (Ali Imran: 36-37)

Kita semua tahu bahwa inilah Maryam yang kelak dikaruniai oleh Allah Ta’ala dengan seorang putra yang suci, mulia, memiliki kedekatan dengan Allah Ta’ala dan memilki kedudukan yang tinggi, yang Al-Qur’an memberikan kesaksian mengenai kesuciannya dan dianugerahi ilham. Allah Ta’ala menyatakan Hadhrat Maryam sebagai orang pilihan dan menganugerahkan kepada beliau keunggulan di atas semua wanita di zamannya. Beliaulah Maryam yang di dalam Al-Qur’an surah At-Tahrim digambarkan sebagai suatu misal bagi semua orang beriman; dan beliau lah Maryam yang Allah Ta’ala menetapkannya sebagai suatu tanda. Semua keberkatan tersebut merupakan hasil dari perjanjian yang telah diikat ibunda beliau dengan Ta’ala bahkan sebelum kelahirannya; dan kemudian beliau juga siap sedia untuk memenuhi janji tersebut. 

Para orang tua Waqf-e-Nou juga telah berjanji untuk menghidupkan kembali teladan Hadhrat Ibrahim a.s. yang di usia rentanya telah berdoa kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan seorang putra dengan kata-kata berikut:

رَبِّ ہَبۡ لِیۡ مِنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿۱۰۱﴾

Wahai Tuhan-ku! Anugerahkanlah kepadaku pewaris dari antara orang-orang yang saleh. (Ash-Shaffat:101)

Akan tetapi putra yang diperoleh melalui doa dan rintihan tersebut, ketika telah cukup dewasa, Allah Ta’ala memerintahkan Hadhrat Ibrahim a.s. untuk mengorbankannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَہُ السَّعۡیَ قَالَ یٰبُنَیَّ اِنِّیۡۤ اَرٰی فِی الۡمَنَامِ اَنِّیۡۤ اَذۡبَحُکَ فَانۡظُرۡ مَاذَا تَرٰی ؕ قَالَ یٰۤاَبَتِ افۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُ ۫ سَتَجِدُنِیۡۤ اِنۡ شَآءَ اللّٰہُ مِنَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿۱۰۳﴾

Maka ketika anak itu telah cukup usia untuk bekerja bersamanya, ia berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu sebagai kurban. Maka pikirkan apa pendapatmu?”. Ia menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (Ash-Shaffat: 103)

Jadi, ini adalah satu contoh indah lainnya dari janji waqaf yang telah dilestarikan oleh Al-Qur’an untuk kita. Kedua orang tua itu dengan mengingat usia mereka yang telah lanjut memohon seorang putra kepada Allah Ta’ala dan Allah Ta’ala pun mengabulkan doa ini. Tetapi tak berapa lama kemudian, mereka harus menghadapi ujian mengorbankan anak yang terkasih dan tercinta. 

Jika kita merenungkan sejenak hal ini, kita akan gemetar mendengar ujian ini. Ismail, seorang putra yang diperoleh dengan permohonan yang sungguh-sungguh, doa-doa dan munajat kepada Allah Ta’ala, sosok yang sangat berharga nan terkasih bagi kedua orang tuanya, yang tentunya sangat mereka sayangi, yang untuk masa depannya mereka memiliki impian-impian yang indah, ketika mereka menerima suatu perintah dari Tuhan yang lebih mereka cintai dari semua yang mereka cintai, mereka tidak lagi mempedulikan semua hubungan kecintaan dan mereka siap untuk pengorbanan tersebut. 

Putra itu pun begitu saleh, bertabiat suci dan meraih tarbiyat yang suci sehingga segera setelah mendengar perintah Ilahi ini, ia mempersembahkan lehernya seraya berkata, “Wahai ayahku! Jika ini adalah keinginan dan kehendak Allah Ta’ala, maka dengan sepenuh hati aku siap untuknya. Aku tidak peduli dengan nyawaku. Lakukanlah apa yang Allah Ta’ala telah firmankan.”

Alhasil, kisah tentang waqaf yang agung ini pun telah Allah Ta’ala lestarikan untuk selamanya di dalam Al-Qur’an dengan penuh cinta dan kasih sayang. Hadhrat Ibrahim a.s. telah dianugerahi gelar Khalilullah karena beliau a.s. telah membuktikan dirinya layak untuk mendapatkan gelar tersebut dengan menunjukkan amalan nyata dalam mengorbankan setiap hubungan demi Allah Ta’ala. Beliau a.s. telah ditetapkan sebagai uswah hasanah. Setiap api yang menyala telah dijadikan dingin bagi beliau dan beliau dijadikan imam dan pembimbing bagi banyak generasi. 

Sedangkan anak yang telah menunjukkan teladan sempurna dalam menepati janji waqaf dengan menaati perintah Allah Ta’ala itu, ia telah dinyatakan sebagai Rasul dan Nabi yang memenuhi janji. Pengorbanannya dikenang untuk selamanya. Di antara keturunannya lahirlah kebanggaan para nabi dan rasul, Khaatamul Anbiyaa, Hadhrat Aqdas Muhammad Mustofa saw., dan setiap tahun jutaan hewan dikorbankan untuk mengenang kesetiaan Hadhrat Ismail a.s. ini. Sungguh, kisah Ismail a.s. akan tetap dikenang sebagai teladan bagi generasi mendatang. 

Setelah bergabung dengan umat Hadhrat Muhammad Mustafa saw. dan menjadi bagian dari jemaat suci Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud a.s., para orang tua dari para Waqf-e-Nou juga berjanji dengan keinginan dan kerelaan hati mereka sendiri untuk mengikuti uswah hasanah wujud yang paling sempurna dalam ketaatan, yakni Hadhrat Rasulullah saw. 

Allah Ta’ala berfirman kepada Hadhrat Rasulullah saw.: Wahai Muhammad saw.!

قُلۡ اِنَّ صَلَاتِیۡ وَنُسُکِیۡ وَمَحۡیَایَ وَمَمَاتِیۡ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿۱۶۳﴾ۙ

Katakanlah! Sesungguhnya salatku, pengorbananku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah yang merupakan Rabb seluruh alam. (Al-An’am: 163)

Alhasil, setelah dua contoh wakaf yang pertama, inilah contoh wakaf yang ketiga dan merupakan yang tertinggi yang dijelaskan oleh Al-Qur’an untuk kebaikan diri kita bahwa seorang Waqif Zindegi yang sejati mengikat perjanjian dengan Allah Ta’ala bahwa, “Aku tidak ingin menyimpan apa pun untuk diriku sendiri, bahkan hidupku, matiku, seluruh ibadahku, upaya kerasku dan pengorbananku adalah untuk Allah Ta’ala dan aku mengutamakan hubungan dengan Tuhan-ku tercinta di atas semua hubungan-hubungan duniawi lainnya.”

Jadi, inilah wujud-wujud agung yang peristiwa wakaf mereka telah dikisahkan oleh Al-Qur’an sebagai pondasi dan pijakan bagi kita; dan kenangan akan semua teladan baik tersebut telah dikumpulkan dalam gerakan waqaf-e-nou. Para orang tua Waqf-e-Nou membuat komitmen untuk mewakafkan anak-anak mereka bahkan sebelum kelahiran mereka seperti halnya Hadhrat Maryam. Seperti halnya Hadhrat Ismail a.s., anak-anak ini disiapkan untuk menjadi pewakaf, yang hasilnya mereka sendiri siap untuk melakukan pengorbanan ini dan jiwa mereka akan berseru, “Labaik! Kami sungguh telah siap. Salat kami, pengorbanan kami, hidup kami dan mati kami hanyalah untuk Allah yang merupakan Rabb seluruh alam.”

Jika kita berpikir bahwa kita dapat berhasil memenuhi janji setia kita tanpa memahami teladan-teladan agung janji wakaf tersebut, maka ini hanyalah sebuah mimpi dan khayalan yang tidak memiliki hakikat. 

یہ راہ تنگ ہے پہ یہی ایک راہ ہے 

دلبر کی مرنے والوں پہ ہر دم نگاہ ہے

Jalan ini sempit, namun inilah satu-satunya jalan

Pandangan Sang Kekasih senantiasa tertuju pada orang-orang yang mati

Selanjutnya saya akan menjelaskan makna dari waqaf. Jika beberapa makna dasar waqaf ini diketahui dan dipahami dengan baik, maka banyak pertanyaan yang muncul di benak para anak waqaf dan orang tua waqaf akan terjawab.

Jika kita perhatikan arti kata “Waqaf” berdasarkan dari segi bahasa, diketahui bahwa:

  1. Arti yang pertama dari Waqaf adalah berdiam di satu tempat atau berdiri dengan diam.

Seperti dalam keseharian kita, kita berhenti dan terdiam ketika melihat tanda Waqaf saat membaca Al-Qur'an. Alhasil, seorang Waqif Zindegi yang hakiki menjadi sosok teladan ketaatan yang sempurna dan ia siap sedia untuk menaati setiap jenis ketaatan yang diharapkan oleh Al-Qur’an dari dirinya. Al-Qur'an mengatakan taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya dan juga taatilah penguasamu. Jadi, menjalankan ketaatan dengan tidak banyak bicara adalah keagungan dan ciri khas seorang Waqif Zindegi. 

Namun bersamaan dengan itu, ketaatan tersebut haruslah dihiasi dengan kecintaan dan kasih sayang yang sempurna. Sebagaimana Dia berfirman:

قُلۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ اللّٰہَ فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ

Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah Hadhrat Rasulullah saw.. Kepengikutan ini akan mengajarkan kalian metode, cara dan sikap dari cinta.

Jika kita sejak dini menyampaikan kepada seorang anak Waqf-e-Nou mengenai jalan apa yang mereka harus ikuti, siapa yang harus mereka anggap sebagai penuntun jalan mereka, siapa yang perkataannya harus mereka taati dan perintah siapa yang harus mereka laksanakan, maka langkah-langkah ke depannya akan menjadi lebih mudah; dan hal ini hanya bisa terjadi jika kita sendiri sadar akan keutamaan dan keindahan sifat-sifat Hadhrat Rasulullah saw. dan memahaminya sebagai suri teladan bagi diri kita sendiri dan anak-anak kita, karena inilah satu-satunya cara untuk menciptakan kecintaan di dalam hati. 

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:

“Ini adalah pengalaman pribadi saya bahwa mengikuti Hadhrat Rasulullah saw. dengan setulus hati dan mencintai beliau saw. pada akhirnya menjadikan seseorang dicintai Allah Ta’ala. Sedemikian rupa sehingga menciptakan suatu gejolak cinta di dalam hati. Kemudian orang seperti itu menjadi muak dengan segala sesuatu serta tunduk kepada Tuhan dan kecintaan serta hasratnya hanyalah terhadap Allah Ta’ala.” (Haqiqatul Wahy, Ruhani Khazain, Jilid 22, h. 67)

Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab orang tua untuk menanamkan rasa cinta kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dalam hati anak-anaknya sedemikian rupa sehingga rasa cinta kepada beliau saw. lebih besar dari segala kecintaan dunia dan tanpanya mereka tidak dapat melewatkan waktu sedetikpun. Dalam sejarah Islam ditemukan kisah berikut:

Pada hari Uhud, tersebar kabar di Madinah bahwa Rasulullah saw. telah syahid. Para wanita di Madinah menangis meraung-raung. Seorang wanita berkata, "Kalian jangan terburu-buru menangis. Saya akan pergi untuk mencari tahu terlebih dahulu kebenaran informasi ini.” Ketika ia pergi, ia mendapati bahwa semua orang yang dicintainya telah syahid. Ia melihat satu jenazah dan menanyakan jenazah siapa itu. Ia diberitahu bahwa, “Itu adalah jenazah ayahmu. Di belakangnya adalah jenazah saudara laki-lakimu, suamimu dan anakmu.” Ia mengatakan, “Bagaimana kondisi Hadhrat Rasulullah saw.?”. Orang-orang berkata, “Hadhrat Rasulullah saw. sedang berjalan di depan.” Ia berlari ke arah Rasulullah saw. dan sambil memegang ujung pakaian Rasulullah saw., ia berkata, “Orang tuaku berkorban untukmu, ya Rasulullah saw.! Selama engkau masih hidup aku tidak mempedulikan hal lainnya.” (Majma’ul Zawaid li Haitsumi, Jilid 4, h. 115, Beirut, dari Thabrani)

Alhasil, ini adalah kecintaan kepada Rasul yang harus kita ciptakan di dalam diri para anak Waqf-e-Nou kita dan jika itu terjadi, maka tanggung jawab kita akan menjadi sangat mudah. 

  1. Meraih ilmu agama dan dunia juga merupakan makna dari waqaf.

Seorang Waqif Zindegi adalah sosok yang tidak hanya mengetahui akan hakikat kehidupan dunia, tetapi juga mengetahui perkara-perkara kehidupan akhirat. Alquran menjelaskan kepada kita: 

وَمَا ہٰذِہِ الۡحَیٰوۃُ الدُّنۡیَاۤ اِلَّا لَہۡوٌ وَّلَعِبٌ ؕ وَاِنَّ الدَّارَ الۡاٰخِرَۃَ لَہِیَ الۡحَیَوَانُ

Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya rumah akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya. (Al-Ankabut:65)

Namun untuk mengajarkan ilmu ini pun kita harus memilih cara-cara yang dapat memantapkan ilmu-ilmu tersebut di hati anak dengan penuh kecintaan.

Para orang tua anak-anak Waqf-e-Nou hendaknya meningkatkan ilmu agama anak-anak mereka dan mendidik mereka tentang ilmu agama dan dunia dengan cara yang menarik hati dan penuh cinta. Hendaknya kita mempersembahkan mereka untuk mengkhidmati agama Allah dengan terlebih dahulu menghiasi mereka dengan ilmu agama dan dunia. 

Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ r.h. bersabda:

“Pengorbanan dan hadiah sebenarnya adalah sesuatu yang serupa. Ketika Anda berbelanja barang yang umum di pasar untuk dibawa pulang ke rumah,  barang tersebut tidak diberikan kepada Anda dengan terlebih dahulu dibungkus kertas yang indah dan dihias dengan pita. Namun ketika Anda mengatakan bahwa kami membelinya untuk diberikan sebagai kado/hadiah, maka karyawan toko akan memberikannya kepada Anda dengan terlebih dahulu menghiasinya sedemikian rupa. Jadi, pengorbanan memiliki corak hadiah, sehingga dekorasi serta hiasan diperlukan untuknya. 

Hiasan bagi kehidupan manusia adalah adanya ketakwaan; dan berkat kecintaan kepada Allah Ta’ala ruh manusia menjadi indah dan senantiasa siap. Oleh karena itu, sebelum anak-anak tersebut cukup dewasa untuk diserahkan kepada jemaat, sudah menjadi tanggung jawab para orang tua untuk mempersiapkan kurban tersebut sedemikian rupa agar keinginan hati mereka terkabul. Semoga keinginan mereka untuk mempersembahkan suatu hadiah yang istimewa di hadapan Allah Ta’ala itu dapat terpenuhi.” (Khutbah Jumat, 10 Februari 1989)

  1. Arti lain dari wakaf adalah mempersembahkan diri untuk mengkhidmati agama.

Inilah wakaf yang dikenal, yang dalam istilah Al-Qur'an disebut nazar dan dalam istilah umum disebut dengan Waqaf Zindegi. Secara umum, ini adalah pengertian umum yang kita semua ketahui. Orang tua dari anak Waqf-e-Nou melalui sebagian tahapan ini dengan menyerahkan anak mereka kepada gerakan Waqf-e-Nou. Namun mereka harus ingat bahwa kini mereka dan anak Waqf-e-Nou mereka harus melalui tahapan lain dari janji wakaf tersebut. Adalah tugas orang tua untuk membesarkan anak-anak waqaf mereka dengan cara yang sesuai dengan haknya. Anak-anak ini harus diberitahu bahwa jika mereka ingin memenuhi janji waqaf mereka dan mewaqafkan hidup mereka untuk agama, maka mereka harus ingat bahwa hidup mereka sekarang didedikasikan untuk kejayaan Jemaat dan agama Islam.

Mereka adalah tentara Nizam Jemaat dan Hadhrat Khalifatul Masih dan mereka akan mengambil keputusan dalam hidup mereka berdasarkan kepada petunjuk Nizam Jemaat dan Hadhrat Khalifatul Masih. Mereka hendaknya ditanya, “Wahai anakku tercinta! Apa pendapatmu mengenai hal ini? Dengan penuh pertimbangan, ambillah satu keputusan dan jika kamu mendapati dirimu mampu untuk memenuhi janji ini maka melangkahlah maju dan janganlah pedulikan hal duniawi apa pun.” Para anak ini hendaknya dibentuk menjadi pribadi yang pemberani. Kepada mereka harus disampaikan bahwa orang-orang yang melangkah dengan keikhlasan dan kesetiaan di jalan ini sebelum mereka, Allah Ta’ala tidak pernah menyia-nyiakan mereka. Keyakinan yang diberikan oleh Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud a.s. bahwa Allah Ta’ala tidak pernah menyia-nyiakan para hamba-Nya, harus disampaikan kepada mereka. Sebagaimana beliau a.s. bersabda:

“Aku mengetahui bahwa Allah Ta’ala bersamaku. Jika aku tertindas dan sedikit saja terhina, dan aku mengalami penganiayaan, caci makian dan celaan datang dari segala sisi, pada akhirnya aku tetap akan menang. Tidak ada seorang pun yang mengenali diriku kecuali mereka yang bersamaku. Aku tidak akan pernah disia-siakan. Upaya-upaya musuh akan sia-sia dan rencana orang-orang yang dengki akan menemui kegagalan.” 

“Wahai orang-orang bodoh dan buta, siapakah orang saleh sebelumku yang menjadi sia-sia, sehingga aku pun akan menjadi sia-sia? Orang yang benar-benar setia yang mana yang telah dibinasakan oleh Allah Ta’ala dengan kehinaan, sehingga Dia pun akan membinasakanku. Sesungguhnya ingatlah dan dengarkan dengan telinga terbuka bahwa jiwaku bukanlah jiwa yang akan binasa dan tidak ada cikal bakal kegagalan dalam fitrahku. Aku telah dianugerahi keberanian dan kejujuran yang di hadapannya gunung-gunung akan tidak berarti.” (Anwaarul Islam, Ruhani Khazain, Jilid 9, h. 23)

  1. Makna selanjutnya dari waqaf adalah membuat perisai atau tembok penghalang. 

Sebagai orang tua kita harus menyampaikan dan mengajarkan kepada anak-anak kita bahwa mereka dipersiapkan untuk berdiri layaknya tembok kokoh di hadapan Islam, Ahmadiyah, Nizam Jemaat dan Nizam Khilafat yang merupakan ruh dan nyawa serta pondasi Jemaat kita. Mereka bukanlah anak-anak biasa. Mereka telah dilahirkan di dunia ini untuk menghidupkan kembali teladan-teladan yang diperlihatkan Hadhrat Thalhah r.a. yang dalam kecintaan kepada Hadhrat Rasulullah saw. beliau perlihatkan pada medan perang Uhud.

Pada kesempatan perang Uhud, dikarenakan kekhilafan para sahabat, kemenangan kaum Muslimin mulai tampak berubah menjadi kekalahan, maka semangat musuh pun meningkat pesat. Mereka bersatu dan melakukan suatu serangan yang sedemikian rupa sehingga para sahabat tercerai berai. Niat buruk mereka adalah bagaimana caranya mencapai Rasulullah saw. dan menghabisi nyawa beliau saw. sehingga kekuatan Islam akan lenyap untuk selamanya. 

Anak panah menghujani dari segala arah, pedang-pedang terhunus untuk menghancurkan lentera Islam. Pada kesempatan itu Hadhrat Thalhah r.a. berdiri di antara Hadhrat Rasulullah saw. dan para musuh layaknya tembok yang kokoh. Beliau menjadikan tubuhnya sebagai tameng di hadapan junjungannya tercinta. Dari sisi mana panah datang menuju Rasulullah saw., beliau menghalangi sisi tersebut dan menghadang setiap anak panah dengan dada, tangan dan tubuh beliau. Bahkan setelah mendapatkan begitu banyak luka, beliau tidak membiarkan satu pun tangan musuh menyentuh Imam beliau tercinta saw. 

Para anak Waqf-e-Nou juga merupakan tentara Islam dan Khilafat Ahmadiyah, yang dalam tarbiyat mereka harus senantiasa diajarkan bahwa hidup mereka, harta mereka, waktu mereka dan kehormatan mereka terikat dengan kehormatan Islam dan Khilafat; dan selama di dunia ini masih ada satu anak Waqf-e-Nou, maka tidak ada serangan kotor yang dapat merugikan Islam. Mereka akan bekerja untuk melindungi agama di segala bidang dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, tidak peduli berapapun pengorbanan yang mereka lakukan untuk itu. 

Kita harus terus melangkah maju di jalan ini dengan penuh tekad, semangat dan keberanian hingga menegakkan kembali kehormatan dan kemuliaan sejati seluruh Nabi Allah Ta’ala di dunia, serta dengan penuh cinta dan kasih sayang, membawa kembali para pemeluk seluruh agama ke jalan yang benar yang merupakan jalan Ibrahim a.s., Musa a.s. dan Isa a.s. yang saat ini dalam bentuk ajaran Hadhrat Muhammad Musthofa saw. telah dianugerahkan kepada dunia sebagai suatu jalan raya yang lebar untuk memudahkan perjalanan kerohanian.

  1. Arti lain dari waqaf adalah saling berdiri di belakang yang lain, seperti yang kita lakukan ketika kita berdiri dalam salat berjamaah. 

Sebagai orang tua, kita harus mendidik anak-anak Waqf-e-Nou kita sejak dini bahwa di samping ketaatan kepada Hadhrat Khalifatul Masih atba. dan Nizam Jemaat, ketaatan dan kepatuhan kepada pengurus Jemaat pun harus menjadi bagian dari kehidupan mereka. 

Dalam tema waqaf ini terdapat suatu kaidah bahwa siapapun yang diangkat menjadi pemimpin dalam suatu bidang pengkhidmatan, hendaknya ia ditaati dengan penuh kegembiraan dan rasa cinta. Jika ada seorang pengurus yang dikritik atau dikeluhkan, anak-anak ini harus diberikan pemahaman bahwa tugas-tugas kejemaatan dan bidang pengkhidmatan ini adalah semata-mata jabatan administratif yang dibuat untuk menjaga ketertiban bersama. Kita tidak mempunyai alasan untuk merendahkan kehormatan dan martabat Nizam Jemaat atas dasar kelemahan pribadi seorang pengurus. 

Apakah kita memutuskan untuk mematuhi atau tidak mematuhi pejabat pemerintah, petugas kepolisian, atau atasan di kantor setelah terlebih dahulu menyelidiki perilaku dan kehidupan pribadinya? Tidak, kita menaruh kepercayaan penuh kita pada pemerintah dan hukum, dan kita berhenti pada isyarat tangan dari seorang petugas polisi yang bahkan akhlak dan karakternya tidak kita ketahui sama sekali.

Alhasil, ingatlah bahwa persis seperti itu juga lah kerajaan samawi yang didirikan di dunia melalui perantaraan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan di bawah pengawasan dan naungan Khilafah Ahmadiyah terus menyebar ke seluruh dunia. Kita harus menjadi penolong Kerajaan Samawi ini dan mengikuti setiap perintah dan hukumnya dengan penuh kegembiraan. 

Hadhrat Khalifatul Masih Al-Khamis atba. bersabda pada Khutbah Jumat 27 Juni 2003:

“Terkadang seseorang terlihat melakukan segala macam kebaikan. Ia melaksanakan salat, pergi ke masjid dan memperlakukan orang lain dengan akhlak yang baik. Namun jika karena suatu sebab timbul suatu keluhan mengenai seorang pengurus Jemaat atau suatu keputusan diambil tidak sesuai dengan keinginannya, maka timbul rasa ketidaksukaan di hatinya terhadap pengurus tersebut. Lalu disebabkan pengurus ini, ia mengatakan sesuatu yang kurang baik tentang Nizam, kemudian di rumah ia membicarakannya dengan istrinya atau anggota keluarga lainnya di hadapan anak-anak, maka dalam lingkungan seperti ini rasa hormat terhadap nizam juga akan hilang dari benak anak-anak. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian untuk menjaga rasa hormat ini. Saya akan sampaikan nasihat Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ r.h. ini kepada Anda:

“Sangatlah penting untuk mengajarkan (kepada para anak Waqf-e-Nou) rasa hormat terhadap Nizam. Janganlah membicarakan di rumah suatu hal yang dapat mengurangi rasa hormat terhadap Nizam Jemaat atau menimbulkan kecurigaan terhadap seorang pengurus tertentu. Sekalipun kecurigaan atau keluhan itu benar, jika anda membicarakannya di rumah, anak-anak akan terkena dampaknya yang merugikan untuk selamanya. Meskipun anda sendiri mengeluh, anda mungkin dapat menjaga keimanan anda, namun anak-anak anda akan merasakan luka yang lebih dalam. Ini adalah semacam luka yang sedikit dirasakan oleh orang yang menderitanya, tetapi orang yang melihatnya dari dekat, ia lebih merasakannya. Oleh karena itu, kebanyakan orang-orang yang biasa mengomentari Nizam Jemaat dengan tidak berhati-hati, sedikit banyak anak-anak mereka akan dirugikan dan ada pula yang menjadi sia-sia untuk selamanya. (Khutbah Jumat, 10 Februari 1989)

(Khutbah Jumat, 27 Juni 2003, Cetakan Al-Fazl Internasional, 22 Agustus 2003, h. 7)

  1. Demikian juga arti lain dari waqaf adalah membelanjakan di jalan Allah.

Kita harus menjelaskan kepada anak-anak kita makna dari ayat-ayat permulaan Al-Qur’an: 

وَ مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ یُنۡفِقُوۡنَ 

Yakni, hendaknya mereka membiasakan diri untuk menafkahkan apa pun yang telah Allah Ta’ala berikan kepada mereka di jalan Allah. Jika dikaruniai suara yang bagus, belanjakanlah dengan cara menilawatkan Al-Qur’an dan membaca syair atau nazm. Jika memiliki keahlian berpidato atau menulis, maka pergunakanlah itu untuk bertablig dan menyebarkan agama. Jika mendapatkan kesehatan yang baik, maka pergunakanlah untuk melakukan pengkhidmatan kemanusiaan dan wiqari amal. Jika ada waktu luang, gunakanlah untuk beribadah dan berdoa. Singkatnya, potensi baik apa pun yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada mereka, yang pertama-tama harus terlintas di benak mereka adalah, bagaimana kami bisa membelanjakan, menafkahkan dan mempergunakan potensi tersebut di jalan Allah. Hal ini akan membuat mereka menjadi pribadi terbaik, mukmin terbaik dan Waqif Zindegi terbaik. 

  1. Salah satu makna waqaf lainnya adalah melangkah dengan teguh. 

Keteguhan ini, yang dalam istilah Al-Qur’an disebut dengan kesetiaan, dapat dikatakan sebagai mi’raj dari waqaf. Kesetiaan kepada Allah, kesetiaan kepada Rasulullah saw., kesetiaan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., kecintaan sejati dan kesetiaan tanpa syarat kepada Khilafat Ahmadiyah adalah sifat-sifat yang dapat menjadikan seorang waqif zindegi menjadi waqif zindegi yang sukses. 

Dalam pesannya kepada para wisudawan Jamia Ahmadiyya Internasional, Hadhrat Amirul Mukminin atba. secara khusus memberikan nasihat kepada para waqifin untuk memiliki sifat ini dan bersabda:

“Mempersembahkan kehidupan kita untuk kebangkitan kedua Islam dan menjadi penolong Khilafat Ahmadiyah serta menyebarkan ajaran Hadhrat Masih Mau’ud a.s. adalah suatu tugas yang mulia. Oleh karena itu, Anda harus mengerahkan seluruh kemampuan Anda untuk memenuhi janji ini dengan kesetiaan dan ketaatan yang sempurna. Saya menasihatkan kepada anda bahwa janganlah pernah bersikap tidak setia kepada Allah Ta’ala, bahkan hendaknya kita senantiasa setia kepada Tuhan kita.” (Pesan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Khamis atba. pada kesempatan Wisuda Jamiah Ahmadiyah Internasional Ghana, 2019)

Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ r.h. bersabda mengenai hal ini:

“Ajarkanlah kesetiaan kepada para anak Waqf-e-Nou. Waqaf Zindegi sangat berhubungan erat dengan kesetiaan. Berilah nasihat kepada para anak Waqf-e-Nou bahwa ada satu perjanjian dengan Allah Ta’ala yang telah kami (para orang tua) lakukan dengan penuh ketulusan. Namun, jika kalian tidak mampu untuk mengembannya, maka kalian diizinkan untuk pulang kembali. Satu gerbang lagi akan datang. Ketika anak-anak ini sudah mendekati masa dewasa, pada waktu itu Jemaat akan bertanya lagi kepada mereka, apakah mereka ingin tetap melanjutkan wakaf atau tidak? Waqaf adalah sesuatu yang dipegang teguh oleh seseorang hingga akhir hayatnya. Terlepas dari segala macam kesulitan, seseorang terus berjalan di jalan tersebut dan tidak pernah berpaling. " (Khutbah Jumat, 10 Februari 1989)

Saya akan menutup uraian saya ini dengan sebuah sabda dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau a.s. bersabda:

“Saya menganggap ini sebagai kewajiban saya untuk mewasiatkan kepada Jemaat saya dan menyampaikan pesan ini. Di masa mendatang, setiap orang mempunyai pilihan untuk mendengarkan hal ini atau tidak, bahwa jika seseorang menginginkan keselamatan dan mencari kehidupan yang suci dan kekal, maka hendaknya ia mewaqafkan hidupnya untuk Allah Ta’ala; dan setiap orang hendaknya sibuk dalam upaya dan pemikiran bahwa ia harus mencapai derajat dan tingkatan di mana ia dapat mengatakan bahwa hidupku, matiku, pengorbananku, salatku hanyalah untuk Allah dan ruhnya berbicara seperti Hadhrat Ibrahim a.s.:

(اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ)۔

Selama manusia belum larut di dalam Tuhan dan belum mati di dalam Tuhan, ia tidak dapat meraih kehidupan yang baru. Alhasil, kalian yang memiliki hubungan denganku, kalian melihat bahwa aku menganggap mewaqafkan kehidupan untuk Allah Ta’ala sebagai maksud dan tujuan hidupku. Kemudian lihatlah diri kalian sendiri, berapa banyak di antara kalian yang menyukai amalanku ini untuk dirinya sendiri dan menyukai untuk mewaqafkan hidup demi Tuhan.” 

(Al-Hakam, Jilid 4, no. 31, 31 Agustus 1900)

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk dapat mengamalkan nasihat-nasihat ini. Aamiin.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyejuk Mataku adalah Salat

Bagaimana Menjalin Hubungan Yang Erat Dengan Allah Ta'ala?