Mengutamakan Agama di Atas Dunia


اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّمَا الۡحَيٰوةُ الدُّنۡيَا لَعِبٌ وَّلَهۡوٌ وَّزِيۡنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٌ فِى الۡاَمۡوَالِ وَالۡاَوۡلَادِ‌ؕ كَمَثَلِ غَيۡثٍ اَعۡجَبَ الۡكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيۡجُ فَتَرٰٮهُ مُصۡفَرًّا ثُمَّ يَكُوۡنُ حُطٰمًا‌ؕ وَفِى الۡاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيۡدٌ ۙ وَّمَغۡفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضۡوَانٌ‌ؕ وَمَا الۡحَيٰوةُ الدُّنۡيَاۤ اِلَّا مَتَاعُ الۡغُرُوۡرِ

Ketahuilah bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, pengisi waktu, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu dan bersaing dalam banyaknya harta dan anak. Kehidupan ini seperti hujan, tanaman-tanamannya mengagumkan para penanamnya, kemudian tanaman itu mengering dan engkau melihatnya menjadi kuning lalu hancur. Dan di akhirat ada azab yang sangat keras, ampunan dan keridhaan dari Allah. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara yang menipu. (Al-Hadid: 21)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan hakikat dari dunia dan kehidupan duniawi bahwa kehidupan ini tidaklah berharga. Kehidupan yang sesungguhnya adalah melepaskan segala sesuatu demi Allah Ta’ala dan meraih ridho-Nya. Kehidupan yang kekal adalah mendahulukan keridhoan Allah Ta’ala di atas kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan kita. 

Dalam Shahih Bukhari terdapat satu peristiwa mengenai Hadhrat Ali r.a., bagaimana beliau mengutamakan keridhaan Allah Ta’ala di atas rasa sakit beliau. Meskipun sedang sakit mata, beliau mengutamakan agama di atas dunia seraya tidak mempedulikan ketentraman sendiri. Peristiwa itu sebagai berikut:

Hadhrat Salamah bin Akwa’ r.a. meriwayatkan bahwa Hadhrat Ali r.a. pada perang Khaibar tertinggal dari Rasulullah Saw. Mata beliau bengkak. Kemudian beliau berkata, “Apakah saya akan meninggalkan Rasulullah Saw hanya karena sakit mata?”. Beliau lalu bangkit dan pergi menemui Hadhrat Rasulullah Saw. 

Ketika malam hari tiba, yang pada keesokan paginya Hadhrat Ali r.a. menaklukkan Khaibar, Hadhrat Rasulullah Saw bersabda, “Besok aku akan memberikan bendera kepada seseorang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya atau dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala akan memberikan kemenangan atas Khaibar dengan perantaraan tangannya. Keesokan harinya para sahabat melihat Hadhrat Ali r.a. telah hadir. Mereka tidak menyangka Hadhrat Ali r.a. akan datang. Orang-orang mengatakan bahwa Hadhrat Ali r.a. telah tiba, lalu Hadhrat Rasulullah Saw menyerahkan bendera kepada Hadhrat Ali r.a. Allah Ta’ala memberikan kemenangan atas Khaibar dengan perantaraan tangan Hadhrat Ali r.a. (Shahiih Bukhaari, Kitaabul Jihad Was Siir, Baab maa qiila fii liwaain nabi)

Dalam peristiwa Hadhrat Ali r.a. tersebut terdapat pelajaran yang jelas bagi kita bahwa meskipun sedang sakit mata, Hadhrat Ali r.a. mengutamakan pengkhidmatan agama di atas ketenangan dan ketentraman pribadinya dan pergi berjihad. Allah Ta’ala pun menghilangkan rasa sakit tersebut dan menganugerahkan kemenangan atas Khaibar melalui tangan beliau. Yakni hasil dari mengutamakan agama di atas dunia ini, beliau pun mendapatkan kesembuhan dan diberikan juga kesuksesan.

Sayyidina Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud a.s. bersabda:

“Bukanlah hal yang mudah bahwa di dalam diri manusia tercipta kondisi di mana ia siap untuk menyerahkan nyawa di jalan Allah Ta’ala. Namun kondisi para sahabat menjelaskan bahwa, ketika kepada mereka diperintahkan untuk mengorbankan nyawa di jalan ini, maka mereka menunaikan kewajiban ini. Kemudian mereka tidak tunduk kepada dunia. Alhasil, ini adalah perkara yang penting bahwa hendaknya kalian mengutamakan agama di atas dunia.” (Malfuzat, Jilid 4, Hal. 595)

Kemudian Huzur a.s. bersabda:

“Lihatlah! Ada dua jenis orang: Yang pertama, mereka yang menerima Islam lalu sibuk dalam bisnis dan perniagaan dunia. Setan menunggangi kepalanya. Maksud saya bukanlah perdagangan itu terlarang. Para sahabat juga melakukan perdagangan. Namun mereka mengutamakan agama di atas dunia. Mereka menerima Islam, maka mereka meraih ilmu sejati berkenaan dengan Islam yang memenuhi hati mereka dengan keyakinan. Inilah sebabnya di medan apapun mereka tidak gentar dengan serangan setan atau tidak ada perkara yang bisa menghalangi mereka dari mengemukakan kebenaran. Yang saya maksudkan dari golongan pertama tadi adalah mereka yang benar-benar menjadi hamba dan budak dunia, seolah-olah menjadi penyembah dunia. Setan meraih keunggulan dan mengendalikan orang-orang seperti itu. 

 Yang kedua, adalah mereka yang larut memikirkan kemajuan agama. Ini adalah golongan yang dikatakan sebagai Hizbullah dan yang meraih kemenangan atas setan dan laskarnya.” (Malfuzat, Jilid 2, Hal. 142) 

Huzur a.s. bersabda:

“Saya katakan dengan sesungguhnya bahwa tujuan yang sejati tercapai ketika meninggalkan segala sesuatu dan perhatian tertuju pada Allah Ta’ala serta mengutamakan agama di atas dunia. Ingatlah, manusia bisa menipu makhluk. Orang-orang dengan melihat seseorang melaksanakan shalat lima waktu atau berbuat kebaikan lainnya, mereka bisa tertipu. Namun Allah Ta’ala tidak bisa tertipu. Oleh karena itu hendaknya ada satu keikhlasan yang istimewa dalam amalan-amalan. Ini lah satu hal yang menciptakan kemampuan dan keindahan dalam amalan-amalan.” (Malfuzat, Jilid 5, Hal. 89)

Kemudian Huzur a.s. bersabda:

“Agama dan dunia tidak bisa bersatu di satu tempat, kecuali dalam kondisi ketika Tuhan menghendaki, maka Dia menjadikan fitrat seseorang sedemikian rupa beruntung sehingga ketika ia terlibat dalam urusan duniawi pun bahkan tetap mengutamakan agamanya. Orang-orang seperti ini juga terdapat di dunia ini.”

“Sebagaimana dalam Tadzkiratul Auliaa terdapat kisah mengenai seseorang. Konon ada seseorang yang sibuk dalam transaksi bisnis ribuan rupee. Sorang waliullah melihatnya dan memandangnya dalam pandangan kasyaf, maka nampak bahwa orang tersebut meskipun berbisnis ribuan rupee, namun hatinya sekejap pun tidak pernah lalai dari Allah Ta’ala. Mengenai orang seperti ini lah Allah Ta’ala berfirman:

 رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ

Bisnis dan perdagangan tidak lantas membuat mereka lalai dari mengingat Allah Ta’ala. 

“Dan ini jugalah kesempurnaan manusia, bahwa mereka juga sibuk dalam urusan dunia, tetapi juga tidak melupakan Allah Ta’ala. Apa gunanya seekor keledai yang ketika diberi muatan ia duduk, dan ketika kosong, ia berjalan dengan baik. Ia tidaklah layak dipuji. Seorang fakir yang takut dengan pekerjaan-pekerjaan duniawi, lalu mengasingkan diri, ia memperlihatkan satu kelemahan. Dalam Islam tidak ada ruhbaniyat. Kami tidak pernah mengatakan bahwa tinggalkanlah anak-istri dan tinggalkanlah urusan duniawi. Tidak! Melainkan karyawan harus menjalankan tugas pekerjaannya dan pedagang harus menjalankan bisnisnya, namun dahulukanlah agama.” (Malfuzat, Jilid 5, Hal. 162)

Kemudian Huzur a.s. bersabda:

“Mendahulukan agama di atas dunia adalah perkara yang sangat sulit. Manusia mengatakan dan mengikrarkannya, namun memenuhinya tidak semua orang bisa melakukannya.” 

“Mengutamakan agama di atas dunia dapat dikenali dengan cara ini, bahwa ketika seseorang kehilangan harta duniawinya, maka seberapa besar rasa sakit di hatinya? Demikian juga sebaliknya, ketika terdapat kerugian dalam masalah agama, maka seberapa besar rasa sakit yang diderita hatinya? Hendaknya manusia menimbang hatinya untuk mengenali hal ini, bahwa seberapa gelisah dan meratap ia untuk kerugian duniawi dan kemudian bagaimana keadaannya ketika terjadi kerugian pada agama.”

“Sungguh buruk ia yang menipu orang lain, namun yang paling buruk adalah ia yang menipu dirinya sendiri. Ia tidak mengutamakan agama, namun berpemikiran bahwa aku telah mendahulukan agama. Dia tidak mentaati Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya, tetapi mengira bahwa ia seorang muslim. Orang yang berbuat zalim pada orang lain, mungkin ia akan melarikan diri setelah berbuat zalim dan dengan demikian ia menyelamatkan dirinya. Namun ia yang menzalimi dirinya, ke mana ia akan melarikan diri dan bagaimana ia dapat selamat dari hukuman atas kezaliman tersebut? Mubarak bagi mereka yang mendahulukan agama dan Allah Ta’ala di atas segalanya, karena Allah Ta’ala juga mengutamakannya.” (Malfuzat, Jilid 5, Hal. 235) 

Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:

“Kami tidak mengatakan bahwa petani harus meninggalkan pertanian mereka, pedagang harus meninggalkan perdagangan mereka, karyawan harus meninggalkan pekerjaan mereka atau pengrajin harus meninggalkan industri mereka, lalu duduk berpangku tangan. Melainkan yang kami sampaikan adalah pengamalan dari:

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَّلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ 

Orang-orang lelaki yang perniagaan dan jual beli tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah. (Al-Nuur: 38) 

“Hendaknya tangan sedang bekerja, sementara hati bersama dengan Sang Kekasih. Pedagang sambil sibuk dalam perdagangannya, tuan tanah sambil sibuk dalam pertaniannya, raja sambil duduk di tahta pemerintahannya, singkatnya pekerjaan apa pun itu, hendaknya dalam pekerjaan-pekerjaannya ia menjadikan Allah Ta’ala sebagai tujuannya. Lakukanlah apa yang ingin dilakukan sambil mengingat keagungan dan kekuasaan-Nya dan memperhatikan peraturan serta perintah dan larangan-Nya. Lakukanlah segala sesuatu dengan rasa takut kepada Allah Ta’ala.”
 
“Di mana Islam mengajarkan bahwa, “Tinggalkanlah oleh kalian perniagaan dan duduk-duduk sajalah layaknya seorang yang tuna daksa.” Alih-alih demikian, khidmatilah orang lain, janganlah diri kalian sendiri menjadi beban bagi orang lain. Tidaklah Islam (mengajarkan seperti itu). Bahkan bermalas-malasan adalah dosa. Bagaimana orang seperti itu bisa berkhidmat kepada Allah dan agama-Nya? Dari mana ia akan memberi makan anak dan istrinya? Alhasil, ingatlah! Ini sama sekali bukanlah kehendak Allah Ta’ala bahwa kalian sama sekali meninggalkan dunia. Melainkan yang menjadi kehendak-Nya adalah, 

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ

Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya. (Asy-Syams: 10)

“Berdaganglah, bertanilah, bekerjalah, lakukanlah pekerjaan industri, kerjakanlah apa yang kalian inginkan. Namun cegahlah selalu jiwa dari ketidaktaatan pada Allah Ta’ala dan sucikanlah diri sedemikian rupa sehingga hal-hal ini tidak mengalihkanmu dari Tuhan, maka kemudian aktifitas dunia kalian akan menjadi berada di bawah aturan agama.”

“Manusia tidak diciptakan untuk dunia. Hendaknya sucikanlah hati dan setiap saat lakukanlah introspeksi diri dan tanamkanlah semangat untuk bagaimana caranya menyenangkan Allah Ta’ala, maka kemudian dunia juga akan menjadi halal baginya.” (Malfuzat, Jilid 5, Hal. 550)

Kemudian Huzur a.s. bersabda:

“Janji yang diucapkan ketika baiat bahwa, “Aku akan mendahulukan agama di atas dunia”, janji ini adalah janji di hadapan Allah Ta’ala. Hendaknya teguhlah pada janji ini hingga kematian tiba, jika tidak, maka pahamilah bahwa kalian tidak melakukan baiat. Namun jika kalian teguh, maka Allah Ta’ala akan memberikan keberkatan di dunia dan akhirat.” 

“Bertakwalah sepenuhnya sebagaimana yang dikehendaki Allah Ta’ala. Ini adalah masa yang rawan. Kemurkaan ilahi sedang terus menerus nampak. Barangsiapa yang menjadikan dirinya sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala, maka ia telah mengasihi jiwanya sendiri dan anak istrinya.” (Malfuzat, Jilid 3, Hal. 67-68)

Kemudian Huzur a.s. bersabda:

“Ketika manusia berjanji bahwa, “Aku akan menghindari segala bentuk dosa dan mendahulukan agama di atas dunia”, maka artinya adalah, “Sekalipun aku harus memutuskan hubungan dengan saudara-saudaraku, sanak kerabatku dan semua teman-temanku, namun aku akan selalu mengutamakan Allah Ta’ala dari segalanya dan akan meninggalkan semua hubungan-hubunganku demi Dia.” Karunia Allah Ta’ala turun atas orang-orang yang seperti itu, karena taubat mereka adalah taubat yang sejati.” (Malfuzat, Jilid 3, Hal. 219)

Sayyidina Hadhrat Hakim Maulana Nuruddin Khalifatul Masih Al-Awwal r.a. bersabda: 
 “Dengan mengucapkan laailaaha illallah kita semua berjanji bahwa tidak akan ada sembahan, kekasih dan majikan yang ditaati selain Allah Ta’ala, dan tidak akan ada suatu maksud dan tujuan yang akan menjadi penghalang di jalan Allah Ta’ala ini. Imam ini (Hadhrat Masih Mau’ud a.s.) menunaikan makna tersebut dalam satu corak yang lainnya, yaitu ia mengambil janji dari kita untuk mengutamakan agama di atas dunia. Sekarang renungkanlah amalan kita seraya memperhatikan janji ini, apakah hukum, perintah dan larangan agama yang berada terdepan ataukah maksud dan tujuan duniawi?”

"Maksud dari janji ini adalah, bahwa segala ketakutan, tujuan dan harapan tiada yang lain selain Allah Ta’ala. Yakni jika ada ketakutan, maka hanyalah kepada-Nya, jika ada pengharapan, maka hanyalah kepadanya! Hanya dialah yang disembah. Takutlah kepada keagungan dan kekuasaan-Nya, yang dengannya akan timbul semangat ketaatan. Ketaatan dan ibadah seperti ini akan menciptakan kesederhanaan dan kerendahan hati yang dengannya akan tercipta kesenangan dan kelezatan dan memberikan kekuatan pada kehidupan amalan.” (Haqaaiqul Furqaan, Jilid 4, Hal. 127)

 Kemudian Huzur r.a. bersabda:

“Jemaat kita berjanji di tangan Imam bahwa, "Aku akan mendahulukan agama di atas dunia. Aku akan melangkah ke depan dalam kedukaan, ketentraman, kesulitan maupun kemudahan.” Ia berjanji untuk menghindarkan diri dari jalan-jalan pembangkangan dan kejahatan. Singkatnya telah dibuat suatu janji yang agung. Kemudian akan dilihat, apakah ia melangkah menuju keinginan-keinginan hawa nafsu dan tujuan-tujuan duniawi, atau mengutamakan agama. Apakah ia secara umum berbuat baik kepada seluruh makhluk dan secara khusus kepada kaum Muslimin, ataukah tidak. Hendaknya dalam setiap perkara mengutamakan keridhaan Allah Ta'ala.” (Haqaaiqul Furqaan, Jilid 4, Hal. 289-290) 

Dalam umat Islam kita mendapati satu contoh yang hebat dan agung dari mengutamakan agama di atas dunia. Sayyidina Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih Ats-Tsani r.a. menjelaskan bahwa di zaman Hadhrat Umar r.a., ketika berlangsung perang di Qadisiyah, Irak, maka Kisra membawa gajah ke medan perang. 

Unta takut dengan gajah, oleh karena itu mereka melarikan diri melihatnya dan dengan demikian kaum Muslimin menderita banyak kerugian dan banyak orang Islam yang terbunuh. Akhirnya suatu hari orang-orang Islam memutuskan bahwa apa pun yang terjadi kami tidak akan beranjak dari medan pertempuran selama kami belum mengalahkan musuh.  

Seorang wanita, Hadhrat Hansa r.a. datang ke medan pertempuran dengan membawa 4 orang putranya dan berkata kepada mereka, "Anakku tercinta! Ayah kalian telah menghabiskan seluruh harta semasa hidupnya dan memaksaku untuk meminta kepada saudaraku bagian dari hartaku. Aku pergi kepadanya. Ia sangat menghormatiku dan menyambutku dan membagikan setengah dari hartanya kepadaku. Aku pergi dengan membawanya.”

“Maka aku mengatakan kepada ayah kalian bahwa sekarang jalanilah hidup dengan berhemat. Namun ia kembali menghabiskannya dan kemudian memaksaku untuk pergi kepada saudaraku. Kemudian aku pergi kepadanya. Ia menghormatiku dan memberikan kepadaku setengah dari hartanya yang tersisa, namun ayah kalian kembali menghabiskannya juga, lalu memaksaku untuk pergi meminta bagian kepada saudaraku.” 
 “Maka aku pergi kembali kepada saudaraku dan ia membagi harta yang tersisa. Ini juga dihabiskan oleh ayah kalian. Lalu ia memaksaku untuk pergi meminta bagian kepada saudaraku. Lalu aku pergi kembali kepada saudaraku dan kemudian ia membagikan hartanya. Namun ayah kalian kembali menghabiskannya. Ketika ayah kalian meninggal, ia tidak meninggalkan harta.” 
 “Aku waktu itu masih muda. Ayah kalian tidak memiliki harta. Ia juga tidak memperlakukanku dengan baik dan jika sekiranya aku sesuai dengan budaya Arab berbuat tidak senonoh, maka tidak perlu ada keberatan (yakni perlakuan buruk itu pantas dilakukan), namun aku melewati sepanjang hidupku dengan kebaikan.”

“Besok adalah pertempuran yang menentukan. Aku mempunyai hak yang besar atas kalian. Besok kekafiran akan berhadapan dengan Islam. Jika kalian pulang tanpa meraih kemenangan, maka aku akan mengatakan ke hadapan Allah Ta'ala bahwa aku tidak mengambil apa pun yang menjadi hakku atas kalian.” 

“Demikianlah ia menyiapkan keempat putranya dan mengirim mereka ke medan perang dan kemudian dengan ketakutan ia sendiri pergi ke hutan dan bersujud, menangis berdoa kepada Allah Ta'ala. Do'anya adalah, "Ya Tuhanku! Aku telah mengirimkan keempat putraku untuk mati demi agama, namun Engkau memiliki kekuasaan untuk membawa mereka pulang dengan selamat." Maka Allah Ta'ala memberikan karunia-Nya sehingga umat Islam meraih kemenangan dan keempat putranya kembali dengan selamat.” (Tafsir Kabir, Jilid 7, Hal. 339) 

Allah Ta’ala menganugerahkan kepada ibu tersebut keberkatan-keberkatan dari mengutamakan agama di atas dunia. Allah Ta’ala juga menganugerahkan kepada pecinta sejati Hadhrat Rasulullah Saw, yakni Hadhrat Masih Mau’ud a.s. orang-orang mukhlis yang mengorbankan jiwanya, yang seraya mengutamakan agama di atas dunia tidak segan untuk mengorbankan nyawanya demi keridhaan Tuhan yang kuasa. Seraya menyebutkan pengorbanan agung dari seorang setia yang berjiwa pengorbanan, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:

“Lihatlah! Maulwi Abdul Latif Sahib Syahid, dikarenakan baiatnya beliau dilempari dengan batu. Selama satu jam beliau terus menerus dihujani batu, hingga tubuh beliau tertutupi batu. Namun beliau mengaduh pun tidak. Beliau tidak berteriak sekalipun. Bahkan sebelum perlakuan zalim ini, tiga kali Amir Afganistan sendiri meminta supaya beliau bertaubat dari perkara ini dan berjanji bahwa, “Jika kamu bertaubat, maka akan dimaafkan dan akan diberikan kehormatan dan kedudukan yang lebih dari sebelumnya.”

“Namun beliau mengutamakan Allah Ta’ala dan tidak mempedulikan kedukaan yang akan beliau alami di jalan Allah Ta’ala, dan tetap teguh serta meninggalkan contoh yang hidup yang sangat indah dari kesempurnaan keimanan beliau. Beliau sangat terkemuka, ‘alim dan muhaddits. Konon ketika beliau ditangkap dan dibawa, dikatakan kepada beliau, “Temuilah dulu anak-anakmu.” Namun beliau mengatakan bahwa, “Sekarang itu tidak diperlukan.” Inilah hakikat dan tujuan dari baiat. (Malfuzat, Jilid 5, Hal. 457) 

Sayyidina Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. bersabda:

“Wahai para penabuh genderang kerajaan langit! Wahai para penabuh genderang kerajaan langit! Wahai para penabuh genderang kerajaan langit! Tabuhlah genderang ini sekali lagi, hingga gendang telinga dunia menjadi pecah... Hingga tiang-tiang arasy berguncang dan para malaikat pun bangun tersentak, sehingga dikarenakan rintihan suaramu dan pekikan takbirmu serta seruan kesaksian tauhidmu, Allah Ta’ala akan turun ke bumi ini lalu kerajaan Allah Ta’ala akan tegak di muka bumi ini.”

“Untuk tujuan inilah aku meluncurkan gerakan Tahrik Jadid dan untuk tujuan ini pulalah aku mengajarkan kepada kalian tentang waqaf. Segeralah datang dan bergabunglah dengan para laskar Tuhan. Hari ini takhta Muhammad Rasulullah Saw telah diambil alih oleh Al-Masih. Kalian harus merebut kembali takhta Muhammad Saw tersebut dari Al-Masih dan Muhammad Rasulullah Saw akan mempersembahkan takhta tersebut ke hadapan Tuhan. Dan kerajaan Allah Ta’ala berdiri di dunia. Dengarlah aku! Ikutilah perkataanku! Apa pun yang aku katakan, itu lah yang Tuhan katakan. Aku menyampaikan suara Tuhan kepada kalian. Taatilah perkataanku! Semoga Tuhan bersamamu! Semoga Tuhan bersamamu! Semoga Tuhan bersamamu! Semoga kalian meraih kehormatan di dunia dan di akhirat pun kalian meraih kehormatan. (Siir Ruhani, Hal. 619-620)

Dengan mendahulukan agama di atas dunia, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita pewaris dari karunia-karunia dan rahmat-Nya yang tak terhingga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyejuk Mataku adalah Salat

Tujuh Makna Waqaf dan Tanggung Jawab Para Orang Tua Waqf-e-Nou

Bagaimana Menjalin Hubungan Yang Erat Dengan Allah Ta'ala?